Keponakan perempuan saya, Nydhia, seorang mantan atlet Karate di kotanya, Malang. Begitu dia memiliki anak pertama, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menjadi orangtua yang suka memaksa anaknya. Ia berjanji untuk menjadi ibu yang sangat sabar dan penuh pengertian.
Sepertinya semua berjalan dengan mulus sampai si sulung yang telah berumur lima tahun mulai ikut latihan karate. Ujian untuk mendapatkan ban kuning akan dilakukan dua minggu lagi. Itu hal yang sangat besar bagi mereka, khususnya bagi si ibu. Mereka berlatih setiap hari, semua gerakan yang diperkirakan si ibu akan diujikan.
Tetapi, selayaknya anak umur lima tahun, Dani tak pernah serius, karena cuma “Mama” yang mengajarinya. Ia lebih suka bermain-main setiap kali latihan. Tentu saja, Nydhia berteriak dan menyerewetinya kalau Dani takkan pernah bisa mendapatkan ban kuning kalau terus-terusan bertingkah seperti itu.
Nydhia akhirnya mengajarinya untuk melakukan salto ke belakang. Namun Dani terus bermain, dan Nydhia terus berteriak. Sampai akhirnya Nydhia membuat Dani merasa kalau dirinya takkan bisa mencapai apa pun; padahal Nydhia sudah berjanji takkan pernah melakukan hal seperti itu.
Sambil tetap marah, Nydhia berkeras mengajarkan salto belakang ini. Dan akhirnya, tepat sehari sebelum ujian, Dani bisa melakukan salto belakang dengan baik.
Ketika ujian tiba, sang pelatih meminta Dani untuk melakukan beberapa gerakan, yang semuanya bisa dilakukan Dani dengan sempurna. Dan… salto belakang tak pernah diujikan. Dani berhasil mendapatkan ban kuningnya.
Nydhia dan Dani pulang ke rumah. Di dalam mobil, Dani melihat ibunya dan bertanya, “Ma, mengapa Mama menyuruhku melakukan salto belakang terus-terusan padahal nggak ada di ujian?” Pertanyaan itu mungkin tak ada artinya bagi orang lain, namun bagai tamparan keras di wajah Nydhia. Ia tidak memiliki keyakinan terhadap anaknya yang sesungguhnya tahu kalau dirinya bisa melakukannya. Sepanjang sore dan malam itu, Nydhia sibuk menelpon ke teman-teman dan saudaranya, membanggakan prestasi anaknya.
Malam harinya, menjelang tidur, Dani masih asyik bermain. Nydhia masih dipenuhi rasa bersalah. Ia juga bertanya-tanya, akankah anaknya memaafkannya? Akhirnya ia mendekati Dani dan mengatakan, “Mama sangat mencintai Dani.” Dani terkikik. Lalu dengan suara yang amat manis ia menjawab, “Aku tahu, tapi Dani lebih mencintai Mama. Lebih banyak. Banyak banget.”
Hati Nydhia terasa lega luar biasa. Dani telah memaafkannya dan Nydhia memutuskan bahwa perasaan itu jauh lebih penting daripada ujian apa pun yang bakal dihadapi Dani sepanjang hidupnya. Nydhia memperbarui janjinya sendiri bahwa ia akan menjadi ibu yang lebih baik dan menerima bahwa Dani hanyalah seorang anak. Seorang anak yang manis. DB