2 tahun dari bunda
Anakku,… 2 tahun sudah kamu hadir mengisi hari-hari bunda Bagi bunda, kamu adalah guru… Guru yang mengajarkan kesabaran, kelembutan, arti memaafkan, kasih sayang serta rasa… Read More »2 tahun dari bunda
Anakku,… 2 tahun sudah kamu hadir mengisi hari-hari bunda Bagi bunda, kamu adalah guru… Guru yang mengajarkan kesabaran, kelembutan, arti memaafkan, kasih sayang serta rasa… Read More »2 tahun dari bunda
Koq jadi ikutan latah bikin grafik pertemanan facebook gini yach hehehe… Gak papa dech, mumpung otak masih mengeras gak cair-cair nich. Jadi hal yang unik… Read More »Grafik Jejaring Facebook saya
Tolonglah Tuhan beri petunjukMu Jalan yang benar menuju jalanMU Agar tak tersesat di persimpangan jalan Aku bagai bintang di gelap malam Diantara seribu bintang Terdampar… Read More »Otakku Mengeras…
Sekedar ingin berbagi pengalaman menggunakan dua dekstop search berikut: Windows Desktop Search (WDS) dan Copernic.
/Prolog
Pertama mengenal dekstop search adalah saat pertama kali dirilisnya Google Desktop Search tahun 2004. Waktu itu belum ada sedikit pun keinginan menggunakan aplikasi desktop untuk mempercepat pencarian dokumen-dokumen dan segala sesuatu di harddisk lokal. Maklum, kebutuhan saat itu belum cukup memaksa saya untuk menggunakannya. Ditambah lagi masih adanya masalah privasi dan kurangnya kontrol pengaturan indeks, dan juga rasa sayang jika harus memangkas sekian persen dari resources komputer yang tentunya sedikit banyak akan mengganggu kinerja maupun kapasitas harddisk komputer.
Seiring berjalannya waktu, mulai bermunculan pesaing-pesaing Google Desktop Search yang menawarkan kustomisasi dan fitur yang lebih baik. Kebutuhan saat ini pun sudah cukup menggelitik saya untuk ikut mencobanya.
Setelah sebelumnya mencari review dan perbandingan di internet. Dan menimbang untung-rugi beberapa aplikasi dekstop search, pilihan akhirnya mengerucut pada dua nama: Copernic Desktop Search (CDS) dan Windows Desktop Search (WDS).
Alasan menggunakan CDS karena selalu mendapat review terbaik dibanding yang lainnya. Sedangkan WDS: karena Google masih belum lebih baik. Setidaknya menurut beberapa review yang saya baca.
Sekedar catatan pribadi, biar gak lupa-lupa lagi. Berikut langkahnya bikin persistent firewall di Ubuntu. Biar auto restore gitu waktu reboot.
Yang dimaksud firewall disini adalah iptables dan yang dimaksud ubuntu ya… ubuntu linux. Dalam tulisan ini ada 2 alternatif cara yang pengin saya catet!
A. Auto restore dari file konfigurasi network
1—Pertama, buat dulu rule iptables. misalnya seperti berikut:
# iptables -A INPUT -p tcp -s 192.168.10.0/24 –dport 80 -j ACCEPT
# iptables -A INPUT -p tcp -s 192.168.10.0/24 –dport 3128 -j ACCEPT
# iptables -A INPUT -p TCP -s 192.168.10.0/24 –dport 443 -j ACCEPT
# iptables -A INPUT -p tcp -s 192.168.10.10 –dport 22 -j ACCEPT
# iptables -A INPUT -p tcp -s 192.168.10.3 –dport 22 -j ACCEPT
# iptables -A INPUT -p icmp -s 192.168.10..0/24 -j ACCEPT
2—Cek rule yang sudah dibuat bila diperlukan:
# iptables -L
Simpan rule iptables yang sudah dibuat kedalam file:
# sudo sh -c "iptables-save > /etc/iptables.rules"
3—Tambahkan dua baris berikut kedalam konfigurasi networking /etc/network/interface agar supaya rule iptables secara otomatis disimpan pada saat network interface down, dan sebaliknya direstore saat network interface up:
pre-up iptables-restore < /etc/iptables.rules
post-down iptables-save -c > /etc/iptables.rules
Masuk ke file konfig network:
# vim /etc/network/interfaces
Sehingga konfigurasi network menjadi seperti berikut:
auto eth0
iface eth0 inet static
address 172.16.1.1
netmask 255.255.255.0
network 172.16.1.1.0
broadcast 172.16.1.255
gateway 172.16.1.254
# dns-* options are implemented by the resolvconf package, if installed
dns-nameservers 10.10.10.10
pre-up iptables-restore < /etc/iptables.rules
post-down iptables-save -c > /etc/iptables.rules
4—Coba reboot untuk memastikan firewall otomatis direstore saat boot.